KUKAR : Suasana Simpang Odah Etam (SOE), Tenggarong, Sabtu (7/6/2025) malam, dipenuhi semarak seni dan budaya saat sembilan sanggar tari dari berbagai wilayah di Kutai Kartanegara memberikan penampilan terbaik mereka dalam acara Road To East Borneo International Folklore Festival (EBIFF). Kegiatan ini merupakan bagian dari proses kurasi yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kukar (Dispar Kukar) sebagai tahap awal seleksi untuk perwakilan ke ajang EBIFF di Samarinda.
Penampilan yang memukau dari para penari ini datang dari berbagai sanggar seni, antara lain Lembaga Seni Budaya Kumala (LSBK) dari Tenggarong, Lentera Kutai Kartanegara dari Muara Badak, Sanggar Tari Ketikai dari Tenggarong, Sinduru dari Muara Wis, Sanggar Tari Tebu Emas Etam (SATTEE) dari Loa Tebu, Sanggar Tari Adila dan Teratai dari Tenggarong, Kirip Enggang dari Loa Kulu, serta SSTB Krowan BakenaTakam dari Lebak Cilongok, Muara Wis.
Kepala Bidang Pengembangan Ekraf Dispar Kukar, Zikri Umulda, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan hanya ajang kompetisi, tetapi juga sarana untuk menyaring ide-ide baru yang dapat mewakili identitas Kukar secara segar dan unik.
“Kami tidak mencari siapa yang terbaik, karena semua yang tampil sudah berkualitas. Tapi kami mencari konsep dan gagasan tarian yang bisa merepresentasikan Kukar di kancah internasional,” ujarnya.
Total terdapat 14 sanggar tari yang mendaftar dalam proses seleksi ini, namun hanya sanggar dengan legalitas kelembagaan yang jelas yang diterima dalam proses kurasi. Menurut Zikri, aspek legalitas ini penting agar sanggar dapat terus berkembang secara profesional di masa depan.
Partisipasi sanggar berasal dari berbagai kecamatan, seperti Muara Wis, Muara Badak, Loa Kulu, dan Tenggarong Seberang. Ini menunjukkan bahwa antusiasme terhadap seni dan budaya di Kukar menyebar merata hingga ke pelosok daerah.
“Proses kurasi akan dilakukan dalam dua tahap, yakni untuk seleksi penampilan di EBIFF Samarinda, serta ajang TeTiba Ekraf berikutnya.” jelasnya.
Salah satu yang menarik perhatian adalah penampilan dari SATTEE, sebuah sanggar yang baru berdiri selama empat hingga lima bulan di bawah naungan kelurahan di Loa Tebu. Meski terbilang baru, tim pelatih dan penari SATTEE sudah menunjukkan potensi luar biasa.
“Kami membawakan tari Jepen Kreasi berjudul Bayang Hawa, yang menggambarkan perjalanan emosional seorang perempuan menuju kedewasaan,” ujar pelatih SATTEE Tera.
Tarian Bayang Hawa tampil memikat dengan penggunaan properti cermin, simbol refleksi diri, serta penampilan penari berjilbab yang menonjolkan identitas perempuan dalam perspektif lokal. Penampilan ini dikerjakan dalam waktu dua minggu latihan, dengan menyesuaikan jadwal karena sebagian penarinya masih berstatus pelajar dan mahasiswa.
Tera juga menyampaikan harapannya agar dunia seni di Kukar terus mendapat ruang dan perhatian. “Seni bisa menjadi sarana yang sangat positif untuk generasi muda. Lewat ruang-ruang seperti ini, mereka bisa berekspresi secara sehat dan menjauh dari hal-hal negatif,” pungkasnya.

Tarian “Mak Juja” dari Sanggar Sinduru Tampil Memikat di Road To EBIFF
SANGGAR Seni Sinduru dari Kecamatan Muara Wis turut ambil bagian dalam ajang Road To East Borneo International Folklore Festival (EBIFF) yang digelar di Simpang Odah Etam, Tenggarong, Sabtu (7/6/2025). Membawakan karya berjudul Mak Juja, sanggar asal daerah perhuluan ini menyuguhkan penampilan yang tak hanya artistik, tetapi juga sarat nilai sosial dan budaya.
Pelatih Sanggar Sinduru Awang Fitra mengatakan bahwa kegiatan Road To EBIFF kali ini terasa sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Dulu, partisipasi kelompok seni seringkali terbatas. Sudah ada nama-nama tertentu yang ditunjuk untuk mewakili Kukar. Tapi sekarang lebih terbuka, semua sanggar punya kesempatan yang sama, baik dari kota maupun dari daerah-daerah pelosok seperti kami di Muara Wis,” ungkapnya.
Tarian Mak Juja yang ditampilkan malam itu memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam tradisi masyarakat Kutai, Mak Juja merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang suka mengadu domba atau memprovokasi konflik dalam lingkungan sosial.
“Karya ini kami buat sebagai refleksi terhadap situasi sosial di masyarakat. Tahun lalu, Mak Juja juga sempat lolos kurasi di ajang Internasional Mask Festival di Solo dan mendapat sambutan baik,” ujarnya.
Menariknya, meski tampil memukau, persiapan penampilan ini hanya dilakukan dalam satu kali latihan. “Karena konsep tarinya sudah matang sejak tahun lalu, kami hanya tinggal menyesuaikan dengan formasi penari. Kebetulan malam ini hanya lima orang yang bisa tampil karena sebagian masih ada acara keluarga pasca Lebaran,” jelasnya

Sanggar Tari Lentera Bawakan Tarian Khas Kutai di Acara Road To EBIFF
SANGGAR Tari Lentera dari Muara Badak memukau penonton dengan membawakan tarian bertema legenda lokal Kutai Kartanegara dalam ajang Road To East Borneo International Folklore Festival (EBIFF) yang digelar di Simpang Odah Etam, Tenggarong, Sabtu (7/6/2025).
Tarian tersebut mengangkat kisah Putri Karang Melenu, tokoh legendaris dalam sejarah Kesultanan Kutai.
Pelatih Sanggar Tari Lentera, Dipa Nursandi, menjelaskan bahwa karya yang dibawakan merupakan hasil kreasinya yang dibuat tahun lalu, namun belum sempat ditampilkan di panggung EBIFF.
“Tahun lalu kami langsung ditunjuk oleh Dinas Pariwisata Provinsi sebagai pengisi acara. Tapi tahun ini, Dispar Kukar menyelenggarakan seleksi agar prosesnya lebih adil dan terbuka,” jelasnya.
Kisah Putri Karang Melenu yang ditampilkan malam itu sarat akan nilai-nilai budaya Kutai. Dipa menuturkan bahwa legenda tersebut berkisah tentang seorang bayi perempuan yang muncul dari bongkahan bambu di sungai, ditemukan melalui mimpi oleh seorang pelayan wanita. Kelak, bayi itu menjadi istri dari Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti, pendiri Kesultanan Kutai.
Penampilan Sanggar Lentera dibatasi oleh ketentuan dari panitia yang mengharuskan jumlah penari maksimal 10 orang.
“Sebenarnya kami menyiapkan 16 penari, tapi kami menyesuaikan. Yang penting bukan jumlahnya, tapi bagaimana semangat dan kualitas penampilan bisa tetap kami jaga,” tambah Dipa.(ADV/DK)